Sunday, June 10, 2007

Sejarah Maluku, Menguak Kaitan Manhattan-Banda

Jakarta, Kompas - Sejarah Kepulauan Banda, Maluku, pada kenyataannya terkait erat dengan keberadaan wilayah Manhattan di New York, Amerika Serikat. Hal itu terkuak dalam buku Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon karya Des Alwi, salah seorang pejuang Indonesia, yang diluncurkan di Jakarta, Selasa (14/6/2005).

Ketika membedah buku itu, penyair Taufiq Ismail mengatakan, setidaknya ada dua kaitan historis antara Banda dengan Amerika. Pertama, di abad ke-15, ketika pelaut Christopher Columbus ingin membuktikan ilmu pengetahuan barunya, yaitu bumi yang bulat, dengan biaya dari Ratu Isabella dan Raja Spanyol Ferdinand.

Columbus bercita-cita mendarat di Banda, yang waktu itu dikenal sebagai pulau rempah-rempah atau Spice Island, untuk kemudian ke barat menyeberang Atlantik. Rute ini diambil untuk menghindari wilayah timur yang dilakukan saingannya orang-orang Portugis. Namun, Columbus justru mendarat di Kepulauan Bahama, bukan Banda. Walau begitu, kekeliruan ini membuatnya menemukan Benua Amerika (1492).

Alasan kedua, Belanda berhasil mengalahkan Inggris di hampir seluruh Kepulauan Banda (1621), kecuali Pulau Run. Harumnya cengkih dan hangatnya pala membuat Belanda ingin menguasai seluruh Kepulauan Banda itu dan mengusir Inggris. Untuk itu, Belanda ingin menukar Pulau Run dengan sebuah pulau jajahan Belanda di pantai timur Benua Amerika, yaitu New Amsterdam.

Melalui Perjanjian Breda tahun 1667, Inggris setuju dengan tawaran itu dan menerima pulau yang dalam bahasa Indian disebut sebagai Manahatta tersebut. Karena itu, kini wilayah tersebut disebut sebagai Manhattan.

Sementara ahli sejarah dari Universitas Indonesia, Prof Dr RZ Leirissa, menekankan pemahamannya pada keputusan VOC menguasai seluruh Kepulauan Banda. Senada dengan Taufiq Ismail, Leirissa mengatakan, keputusan itu didasari pada keserakahan Belanda dalam memonopoli pala.

Tahun 1621, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen bertolak dari Batavia menuju Banda, lengkap dengan pasukan dan armada. Setelah mengalahkan orang Banda, Coen meninggalkan pasukan untuk mengamankan Banda demi VOC.

Namun, karena insiden kecil, pertempuran itu berubah menjadi genosida. Tanggal 21 April malam, lentera di Masjid Selamon yang dijadikan markas Belanda terjatuh dan menyebabkan kebakaran. Melihat kejadian itu, sang komandan menuduh orang Banda sengaja membakar markas tersebut.

Sejak itu, tentara VOC diperintahkan mengejar dan menangkap orang Banda hingga ke pegunungan. Banyak orang Banda yang ditawan di Batavia yang kini dikenal sebagai Kampung Bandan. Para pemimpin orang Banda dijatuhi hukuman mati oleh samurai Jepang yang disewa VOC.

"Jika di Banda Belanda menggunakan kekerasan sangat kejam, di Ambon tidak," ujarnya. Dikatakan, Belanda justru membangun Ambon dan menanam cengkih dengan rapi, sambil memasukkan ajaran Kristen melalui pendidikan di abad ke-17. "Karena itu, Ambon sangat berbeda. Tingkat pendidikan mereka lebih maju, bahkan kemudian muncul Sarekat Ambon Wilhelmina," jelasnya.(RIE)
Sumber: Kompas Cyber Media. Rabu, 15 Juni 2005 (http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/15/humaniora/1819095.htm)

No comments: